Kisah Mantan Guru Agama Katolik (2)
Mahasiswa Kateketik
Agama yang benar untuk umat manusia ialah Agama Katolik, demikianlah pendapatku. Agama yang mengajarkan cinta kasih secara murni dan konsekwens. Dengan bekal keyakinan yang semacam ini aku pindah dari Jakarta ke Lampung Ada dua hal yang menyenangkan aku pindah ke Lampung. Pertama ialah dekat dengan tempat orang tua dan kedua Staf LPKB Lampung semuanya part-timer, jadi dengan kedatanganku menjadi satu-satunya orang yang full-timer. Sehingga memang dengan demikian saya menjadi orang yang menentukan policy LPKB.
Karena sering tugas luar, saya banyak bergaul dengan masyarakat luas. Keinginan untuk melaksanakan ajaran Yesus: "Pergilah dan ajarlah semua bangsa menjadi muridKu dan permandikanlah mereka atas nama Bapa, dan Putera dan Roh Kudus" menjadi demikian bernyala-nyala. Keinginan itu kulaksanakan juga dengan menyerahkan waktuku untuk maksud itu.
Rupanya hal itu menarik perhatian Bapak Uskup Lampung Mgr. Albertus Hermelink Gentiaras SCY. Seorang Uskup yang begitu rendah hati, bisa dijumpai oleh siapa saja kapan saja. Jika seorang ingin menghadap beliau tidak perlu mendaftar terlebih dahulu kepada Sekretaris Keuskupan seperti lajimnya dibuat oleh kebanyakan Uskup. Oleh beliau aku kemudian dikirim ke Fakultas Pendidikan Kateketik di Madiun di bawah pimpinan Pastor Dr. Paulus Janssen C.M seorang yang suka sekali bekerja keras seorang theolog dan social worker.
Pada waktu aku belum masuk ke Fakultas Pendidikan Kateketik saya telah meragukan 2 hal. Yang pertama ialah: Dosa asal dan tentang Santo dan &Santa (orang Suci). Bagaimana mungkin seorang yang baru lahir dari rahim ibunya sudah berdosa karena mewarisi dosa asal? Dan bagaimana mungkin Bapa Paus di Vatikan bisa menetapkan bahwa seorang yang meninggal dunia bisa ditetapkan sudah masuk surga. Ada juga hal lain, yaitu tentang api pensucian. Sementara semua agama mengajar bahwa hanya ada dua tempat ialah neraka dan surga di alam sana, Gereja Katolik mengajarkan ada tempat lain ialah api pencuci.
Tetapi semua kebimbangan itu kubiarkan saja, karena saya berpendapat bahwa dengan menjadi Mahasiswa pada Fakutas Pendidikan Kateketik keraguan dan kebimbangan itu akan menjadi hilang atau sekurang-kurangnya bahkan menjadi jelas.
Tentang dosa asal, ada dosen yang menjelaskan bahwa semua perbuatan orang tua bagaimanapun pasti berakibat pada anak. Misalnya jika orang tuanya suka pergi ke wanita pelacur, maka penyakit yang di derita bukan saja oleh dia tetapi anak-cucunya ikut menanggung akibatnya. Hal itu untuk sementara cukup memuaskan hatiku; walaupun dalam perkembangan selanjutnya kebimbangan tentang hal ini muncul lagi dan tetap tidak terjawab.
Tentang Santo dan Santa tidak ada jawaban yang memuaskan. Yah, terima begitu saja. Bukankah ada suatu dogma bahwa Sri Paus tidak bisa keliru dalam menentukan kaidah agama. Jawaban itu bukan saja tidak memuaskan, bahkan keraguan bertambah satu, yaitu apakah betul Sri Paus tidak bisa salah dalam memutuskan kaidah agama? Hilang satu keraguan yakni tentang dosa asal, muncul satu keraguan lain, yaitu tentang ketidak-mungkinan salah dari Sri Paus di Vatikan.
Aku mulai banyak mengenal pendeta Protestan. Pada saat itu Gereja Katolik, sudah maju dalam hal keinginan untuk ekomune (hidup bersama dalam persatuan). Tetapi rupanya Gereja Protestan masih memandang dengan mata curiga akan keinginan-baik Gereja Katolik. Ada memang Gereja Protestan yang sudah maju, misalnya Kristen Jawa, tetapi aliran Pantekosta sukar sekali untuk bisa mengerti hal ini. Sehingga dari aliran Pantekosta selalu ada usaha supaya mendapat pemeluk yang sebanyak-banyaknya. Sedangkan, pandangan Gereja Katolik dan Kristen Indonesia atau yang sejenis, orang yang sudah mempercayai Kristus- sebagai juru Selamat tidak usah ditarik lagi, barlah mereka tetap tenang pada agamanya entah itu Katolik entah itu Protestan.
Perkenalan dangan para Pendeta menyebabkan saya bisa menerima pandangan agama Protestan yang wajar tentang tidak adanya pentahbisan (pelantikan) Santo-Santa, tentang tidak ditekankannya masalah dosa asal. Dari mereka saya mendapatkan buku Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Saya simpan Kitab Suci itu dengan nada agak takut sebab bagaimanapun Gereja Katolik belum mengijinkan secara luas orang Katolik menyimpan buku-buku Kitab Suci terbitan Protestan, bahkan pendeknya pada teorinya orang Katolik dilarang membaca buku-buku tanpa Imprimatur (persetujuan Uskup setempat) dan atau Nihil Obstat (tidak ada keberatan).
Suatu ketika Rama Janssen yang memberikan kuliah Kitab Suci (sebelum itu Bruder Honorius) memulai kuliahnya dengan berkata: "Seperti kalian tahu, bahwa tidak boleh seorang Katolik memakai kitab Injil terbitan Protestan." Hatiku berdebar-debar juga, jangan jangan kena sanksi administrasi saya. Tetapi beliau melanjutkan: "Tetapi berhubung dari Katolik sendiri belum banyak usaha penerbitan Kitab Suci, dan karena Saudara calon Guru Agama yang harus lebih tahu dari pada umat biasa tentang Kitab Suci, maka Saudara perlu mempunyai. Untuk memakai buku Injil terbitan Protestan harus ada ijin dari Bapak Uskup setempat dalam hal ini Uskup Surabaya, Mgr. Drs. J. Kloster CM. Saya, selaku pimpinan Fakultas atas nama Bapa Uskup memberikan ijin secara umum, khusus kepada para Mahasiswa saya untuk mempergunakan Bijbel Protestan." Saya lega sekali. Keesokan harinya teman-temanku mencari Injil itu sedang saya sendiri menjadi bebas mengeluarkan Kitab Suci itu.
Yang saya kagumi dari golongan Protestan ialah mereka dapat hafal ayat-ayat Injil itu. Sedang saya, calon Guru Agama Katolik untuk mencari tempat-tempatnya dalam Injil masih merasa sulit. Hal ini juga berlaku untuk semua orang Katolik bahkan guru Agamanya juga.
Aku berpendapat, bahwa dengan mempunyai Injil imanku akan bertambah kuat, tetapi tidak demikian halnya. Dalam suatu tempat di dalam Pe:rjanjian Lama, sayang saya tidak bisa mengingat lagi di mana letaknya dan untuk mencarinya kembali ternyata sulit sekali, saya menemukan: "Bahwa dosa orang lain tidak bisa dipertanggung jawabkan kepada orang lain walaupun itu anaknya sendiri." Yah, dengan demikian jelas bahwa dosa dan akibat dosa itu berlainan. Akibat dosa bisa diwariskan tetapi dosa itu sendiri tidak bisa. Umpamanya, anak seorang pembunuh dijauhkan dari pergaulan oleh kawan-kawannya, tetapi dia sendiri tidak bisa dianggap salah karena menjadi anak seorang pembunuh."
Kemudian hal ini di luar waktu kuliah saya tanyakan kepada Pastor Bartels C.M., beliau hanya menjawalb: " Itu bukan hal yang penting. Jika kau tidak percaya kepada dosa asal, engkau engkau tidak dosa dan tetap bisa menjadi orang Katolik yang baik." Saya berkata lagi: "Kalau demikian apa bukan lebih baik saya menjadi Protestan saja, Rama?"
Rama menjawab: "Pikiranmu yang kacau anggap saja sebagai godaan setan, dan sekarang banyaklah berdoa dengan tekun lewat perantaraan bunda Maria." Dari akibat membaca Bijbel saya mendapatkan hal lain yang terasa ganjil. Hal itu ialah silsilah Yesus. Sebaiknya tidak usah saya kutipkan Silsilah itu, tetapi saudara buka saja Kitab Perjanjian Baru pada halaman pertama Injil Mateus. Setelah Mateus memproklamirkan bahwa Yesus adalah Anak Ibrahim, Anak Daud, dan menyuguhkan deretan nama-nama, maka pada akhir silsilah itu Mateus berkata: "Yakub memperanakkan Yusuf suami Maria, yarng melahirkan Yesus yang disebut Kristus." Hal ini saya fikir aneh. Jika Yesus adalah putera (keturunan) Ibrahim, maka lebih tepat jika yang disebut keturunan Ibrahim itu Maria saja, bukan Yusuf yang bukan saja Bapa dari jasmani Yesus.
Hal ini saya tanyakan kepada Rama Wignyopranoto C.M. beliau menjawab: "Orang Yahudi itu garis keturunan adalah garis Bapak sehingga lebih mudah jika yang disebut keturunan Ibrahim itu Bapanya, bukan Ibunya. Tetapi itu tidak penting, yang penting YESUS secara fakta sudah turun ke dunia menyelamatkan umat manusia. Itu inti iman kita." Jawaban itu tidak memuaskan saya, namun kesempatan tidak banyak untuk mendiskusikan, karena katanya akan ada kesempatan untuk mendiskusikannya dalam pelajaran yang akan datang waktu membicarakan persoalan itu.
Tetapi sampai Rama Wignyo studi di Universitas Gregorian di Roma dan sampai saya keluar dari pendidikan itu tidak ada kesempatan lagi untuk omong-omong tentang hal itu. Tetapi yang lebih mengherankan lagi ialah, saya mendapatkan silsilah Yesus dalam Injil yang lain, yakni Injil Lukas. Di situ dilukiskan bahwa Yesus adalah keturunan Daud dari garis Natan yang ke 43, sedang dalam Injil Mateus adalah anak Daud yang ke 27 dari garis Sulaiman. Terhadap ini belum pernah saya tanyakan.
Siapa Sebenarnya Juruselamat Dunia? Oleh Yohannes Baptista Sariyanto Siswosoebroto Penerbit PERSATUAN Jln. KHA Dahlan 103, Yogyakarta, 1977
No comments:
Post a Comment