Kisah Mantan Guru Agama Katolik (4)
Kebimbangan Berjalan Terus
Terhadap pribadi Yesus, saya tidak mempunyai keraguan tentang pengajarannya. Tentang hukum etis dan moral yang diajarkannya sungguh bernilai tinggi. Tetapi tentang dosa asal, tentang Santo dan Santa, tentang silsilah Yesus; bolehkah semua itu kuanggap tidak penting? Yang penting inti iman. Sampai aku menjadi Guru Agama, kebimbangan itu berjalan terus. Yang saya herankan sekarang ialah, apakah orang yang saya ajar itu tidak bimbang bila saya sendiri yang mengajar sesungguhnya hatiku juga bimbang. Saya tidak tahu, dan belum pernah menanyakan kepada katekumers saya (orang yang aya ajar agama) dan dari mereka saya tidak pernah menerima pertanyaan itu.
Lebih aneh lagi sebetulnya, kalau aku mengingat bahwa ketika aku menjadi mahasiswa di Fakultas Pendidikan Kateketik dan berpraktek Stasi di kota kecil Walikukun, Kabupaten Ngawi begitu banyak orang yang saya Katolikkan. Cara pendekatan saya begitu baik sehingga kepada Kepala Desa Mengger, Kepala Desa Karangbanyu dan Kepala Desa Dirgo (Bau) saya bisa minta dikumpulkan orang-orang desa untuk saya ajar agama Katolik.
Setelah saya menjadi Guru Agamapun saya boleh dikatakan sebagai Guru Agama yang berhasil dalam hal meng-Katolik-kan banyak orang, atau sekurang-kurangaya membuat suatu masyarakat bernafaskan Katolik. Akhirnya masa tugasku sebagai Guru Agama kujalani di kota kecil Sumpiuh, Kabupaten Banyumas dalam Keuskupan Purwokerto. Tempat tugasku hanya berjarak 5 km dari tempat kelahiranku, Tambak. Di dalam Injil ada disebut: "Seorang nabi tak dihargai di negerinya," walaupun begitu tugasku di Sumpiuh dapat kunilai dan dinilai orang lain: sukses. Dalam waktu tiga tahun saya di Sumpiuh saya melayani tiga orang Pastor berturut-turut yaitu: Rama A. Wahyo Bawono Pr, bekas Letnan Kolonel Kostrad Tituler, Rama Antonius Willing MSC, Rama H. Obbens MSC. Dengan dua Pastor yang terdahulu saya bisa bekerja sama dengan baik tidak pernah ada misunderstanding, tetapi dengan Rama Obbens keadaannya lain. Tetapi hubungan yang kurang baik antara saya dengan beliau tidak menjadi alasan yang penting mengapa saya masuk Islam. Kalau hal itu dianggap sebagai proses yang mempercepat mungkin boleh, tetapi jika ini dianggap sebagai penyebab utama tidak mungkin.
Seperti lajimnya keluarga Katolik, lebih-lebih saya Guru Agama, maka anak yang baru lahir itupun kumintakan baptis. Ketika aku menyaksikan upacara baptis anakku timbullah suatu pertanyaan besar: "Apakah betul anakku sudah punya dosa asal warisan zaman Adam dan Hawa akibat dosa mereka?" Gereja Protestan memang lebih rationil dalam hal pembaptisan ini, yang tidak mau membaptis seseorang tanpa kemauan bebas dan kehendak orang yang bersangkutan.
Seperti halnya kakekku yang meletakkan dasar pada pendidikanku sehingga seluruh pribadinya sempat mewarnai juga pribadiku, maka pergaulanku tidak tertutup pada suatu kelompok masyarakat. Dengan orang Protestan dan Islam saya banyak bergaul. Dengan pejabat-pejabat setempat selalu saya memelihara hubungan baik. Tetapi juga dengan kalangan masyarakat yang diemohi oleh masyarakat saya usahakan hubungan yang baik. Dengan wanita pelacur saya tidak segan-segan untuk bergaul dan mengunJungi mereka. Itu semua kulakukan bersama-sama isteriku bila aku mengunjungi tempat-tempat pelacuran. Bukan karena isteriku tidak percaya kepada kesetiaanku, tetapi suara masyarakat yang negatif hampir tidak pernah saya dengar dengan selalu mengajak isteri saya bila ke sana.
Di situlah saya berpikir, mengapa Pimpinan Gereja tidak pernah mempunyai konsepsi dan buah pemikiran untuk wanita P? Bukankah Kristus memberi contoh dengan membela Maria Magdalena yang akan dihukum rajam (lempar batu) karena kedapatan sedang berjina? Yesus dengan kewibawaanya berkata: "Siapa yang tidak mempunyai; dosa silakan lempar batu dahulu!"
Kebimbangan itu pada akhirnya sampai pada puncaknya ialah, mula pertama dengan tidak meyakini peranan Bunda Maria sebagai perantara manusia kepada Allah Bapa dan Allah Putera. Jadi imanku Katolik saya kurangi dengan dosaasal, pembaptisan bayi, peranan Bunda Maria. Bolehlah dikatakan saya sudah menjadi Protestan secara praktis.
Hal itu memang benar, jika saja proses itu berhenti sampai di sini saja. Tetapi proses ini berkembang dengan tidak meyakini lagi pada diri saya bahwa Yesus itu Allah, walaupun saya tetap meyakini bahwa Kristus adalah Guru yang baik.
Soal Trinitas dan lain-lainnya dapat Saudara baca pada bagian karangan saya yang berjudul: "Siapakah Juru Selamat Dunia?," yang dimuat bersama-sama serial ini. Perlu kiranya saya tambahkan bahwa buku: "Yesus Kristus dalam Al Quran dan Mohammad dalam Bijbel," karya Drs. Hasbullah Bakri, telah mendorong saya dan membantu studi tentang masalah ketuhanan Yesus.
Siapa Sebenarnya Juruselamat Dunia? Oleh Yohannes Baptista Sariyanto Siswosoebroto Penerbit PERSATUAN Jln. KHA Dahlan 103, Yogyakarta, 1977
No comments:
Post a Comment